Jumat, 04 Desember 2015

Kemajemukan di Indonesia dari segi pedekatan konflik


Konflik Maluku


Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu:
            1.  Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
            2.  Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam


Di Maluku terdapat 2 konflik,yaitu konflik vertikal bernuansa agama.dan di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.yang pertama saya akan membahas konflik maluku tahun 1999 – 2002

Pada tahun 1999 hingga tahun 2002 konflik antara orang Kristen dan Muslim di Kepulauan Maluku, termasuk daerah saya di kota Tual Maluku Tenggara berdampak pada kematian puluhan orang dan mengungsinya ribuan orang lainnya. Kerusuhan yang meledak di Tual akhir bulan Maret 1999 ini mempunyai banyak kesamaan pola antara kerusuhan Tual dan kerusuhan Ambon. Artinya, telah terjadi pengulangan pola kerusuhan Ambon di Tual. Hal ini mendukung petunjuk tentang adanya upaya pelebaran kerusuhan dan upaya melanggengkan kerusuhan di Maluku.
Faktor pemicu kerusuhan Tual mengandung muatan sentimen agama. Sedikitnya, dua hari sebelum kerusuhan meledak pada tanggal 28 Maret 1999, muncul tulisan yang menghina Yesus di daerah Kiom kota Tual. Tulisan itu kemudian bersahut di daerah Wearhir kota Tual pada tanggal 29 Maret 1999, dengan nada mengejek Nabi Muhammad SAW. Saat itu, isu telah beredar bahwa akan ada aksi-aksi kelompok massa tertentu dengan menggunakan warna agama dalam penyerangan.
Pada tanggal 30 Maret 1999, sekitar pukul 13.30 wit massa yang berasal dari desa Dullah, Ngadi, Tamadan, Letman, Ohoitahit, bergabung dengan massa yang ada di kota Tual dan membagi diri dalam tiga kelompok. Kelompok massa yang pertama berkumpul di Mesjid Raya Tual dengan arahan dan komando yang menggunakan pengeras suara. Kelompok yang kedua berkumpul di daerah Jiku Ampat dan Kiom. Kelompok yang ketiga berkumpul di daerah Wearhir. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 200 sampai dengan 300 orang dengan memakai ikat kepala putih.

Penyerangan yang dilakukan pada saat itu, mengarah ke pemukiman-pemukiman mayoritas Kristen nampak terencana. Selain itu, penggunaan identitas yang sama, kesiapan senjata dan taktik dari setiap kelompok penyerang mengarah ke target tertentu yang meliputi sebagian besar pemukiman Kristen di kota Tual. Kelompok yang pertama, menyerang melalui jalan samping lapangan Lodar El Kota Tual memasuki kuburan umum dengan sasaran pemukiman Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh di sekitar pekuburan umum Tual. Massa penyerang bergerak sambil menggusung keranda atau peti mati. Massa yang diserang disekitar kuburan umum itu tidak menyangka bahwa keranda atau peti mati yang dipikul itu penuh berisi senjata panah atau panah api, tombak dan parang yang kemudian dipakai menyerang dan membakar pemukiman mayoritas Kristen di Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Kelompok yang kedua menyerang melalui jalan menuju ke Kuburan Cina dengan sasaran pemukiman Kristen di daerah Kubur Cina dan Kampung Mangga di Tual. Di pemukiman ini terletak gedung Gereja GPM Sion dan Perumahan Klasis Pulau-Pulau Kei Kecil. Kelompok yang ketiga, menyerang melalui jalan baru Wearhir dengan sasaran Kampung Baru dan Un di Tual namun kelompok ini dapat dihalau oleh penduduk dan serangan ini berakhir pukul 17.30 wit.
Kerusuhan di Tual bisa meledak karena aparat keamanan bertindak tidak efektif. Isu penyerangan yang telah beredar sebelumnya nampak tidak diantisipasi dengan tindakan pencegahan dini, atau membubarkan massa yang mulai menumpuk pada tanggal 30 Maret 1999 di pusat kota Tual. Kejelasan identitas massa yang menumpuk itu sekaligus menunjukkan adanya gerakan terorganisasi. Tanpa gerakan penangkalan ABRI, massa dengan leluasa bergerak sekitar pukul 04.30 wit menyerang lokasi-lokasi yang dikenal sebagai pemukiman mayoritas Kristen, yaitu Kubur Cina, Kampung Baru, Kampung Mangga, Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Aparat keamanan yang seharusnya menangani konflik massa malah menembak ke arah massa yang mempertahankan diri dari serangan, sehingga terdapat tiga orang korban jatuh akibat terkena peluru aparat keamanan.
 Namun beruntung kerusuhan yang terjadi di kota Tual tidak berlangsung lama, tepatnya satu minggu kemudian suasana kota Tual mulai berangsur aman, karena adanya kesadaran dari semua pihak yang menyadari tali persaudaraan antar agama yang disebut Pela (hubungan keluarga karena perkawinan), sehingga masyarakat kota Tual menyadari bahwa kerusuhan yang terjadi sama saja seperti melakukan perang antar saudara. Pada akhirnya semua pihak menyadari kekeliruannya dan kembali memperbaiki kerukunan yang sudah terkoyak dan kerusuhan yang terjadi di kota Tual Maluku Tenggara dapat diselesaikan.
Perdamaian di Tual memang tidak datang serta-merta. Ketika masyarakat terbelah menjadi dua antara kelompok Islam dan Kristen, tokoh-tokoh  perantauan dari Tual segera berinisiatif untuk membuka dialog. Pada waktu kerusuhan di Ambon meletus Januari 1999, mereka mulai menjalin komunikasi di Jakarta dan kemudian membentuk Keluarga Besar Masyarakat Maluku Tenggara (KBMMT).
Karena sejak dulu masyarakat di kota Tual selalu terikat dengan ‘’Ain Ni Ain’’ (kita adalah satu) maka upaya perdamaian pun dilakukan dan diterima oleh semua pihak. Sehingga perdamaian Tual di wilayah Maluku Tenggara kemudian menjadi salah satu tujuan pengungsi dari wilayah Maluku lainnya seperti dari Ambon. Keadaan ini cukup memberatkan meski masyarakat kota Tual tidak bisa menolak kehadiran pengungsi, khususnya yang masih memiliki nenek moyang di kota Tual. Sehingga setiap pengungsi yang datang diberi pengarahan dan diminta membuat pernyataan untuk tidak membawa kerusuhan yang kedua kalinya ke kota Tual.
Dan pada akhirnya, kota Tual Maluku Tenggara kini menggeliat kembali dan keadaan kota Tual kembali normal, tetapi dampak kerusakan akibat kerusuhan cukup besar. Namun, semua kini telah teratasi dan masyarakat kota Tual dari semua pihak baik Islam, Kristen, maupun Katolik hidup rukun dan damai. Dari semua pihak tak ada lagi yang ingin mengulangi pertikaian yang pernah terjadi untuk yang kedua kalinya, semuanya tidak mau terpengaruh lagi dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan tersendiri jika terjadi kerusuhan. Sehingga masyarakat kota Tual lebih memilih untuk tetap menjaga ikatan ‘’Ain Ni Ain’’ dan tali persaudaraan yang sudah lama terjalin dengan baik


Kemudian saya akan membahas tentang konflik kedua,yaitu RMS versus pemerintah pusat


Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur. 

Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik kiri. Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia. 

Sebelumnya, tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairisal. Pemerintah segera melakukan serangan politik dan militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja menerima kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa Barat lain. 

Ruth Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat Maluku saja. Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan. Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat. 

Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999 dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan nasional mudah memanas. 

Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku. 

Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah. 

Contoh upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka, Ambon.Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik

Referensi:
luk.staff.ugm.ac.id/kmi/ambon/Menjelang.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar