Konflik Maluku
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu:
1. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan
kedaerahan.
2. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam
Di Maluku terdapat 2 konflik,yaitu konflik vertikal bernuansa agama.dan
di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang
direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.yang pertama saya akan membahas konflik maluku tahun 1999
– 2002
Pada tahun 1999 hingga tahun 2002
konflik antara orang Kristen dan Muslim di Kepulauan Maluku, termasuk daerah
saya di kota Tual Maluku Tenggara berdampak pada kematian puluhan orang dan
mengungsinya ribuan orang lainnya. Kerusuhan yang meledak di Tual akhir bulan
Maret 1999 ini mempunyai banyak kesamaan pola antara kerusuhan Tual dan
kerusuhan Ambon. Artinya, telah terjadi pengulangan pola kerusuhan Ambon di
Tual. Hal ini mendukung petunjuk tentang adanya upaya pelebaran kerusuhan dan
upaya melanggengkan kerusuhan di Maluku.
Faktor pemicu kerusuhan Tual
mengandung muatan sentimen agama. Sedikitnya, dua hari sebelum kerusuhan meledak
pada tanggal 28 Maret 1999, muncul tulisan yang menghina Yesus di daerah Kiom
kota Tual. Tulisan itu kemudian bersahut di daerah Wearhir kota Tual pada
tanggal 29 Maret 1999, dengan nada mengejek Nabi Muhammad SAW. Saat itu, isu
telah beredar bahwa akan ada aksi-aksi kelompok massa tertentu dengan
menggunakan warna agama dalam penyerangan.
Pada tanggal 30 Maret 1999, sekitar
pukul 13.30 wit massa yang berasal dari desa Dullah, Ngadi, Tamadan, Letman,
Ohoitahit, bergabung dengan massa yang ada di kota Tual dan membagi diri dalam
tiga kelompok. Kelompok massa yang pertama berkumpul di Mesjid Raya Tual dengan
arahan dan komando yang menggunakan pengeras suara. Kelompok yang kedua
berkumpul di daerah Jiku Ampat dan Kiom. Kelompok yang ketiga berkumpul di daerah
Wearhir. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 200 sampai dengan 300 orang
dengan memakai ikat kepala putih.
Penyerangan yang dilakukan pada saat
itu, mengarah ke pemukiman-pemukiman mayoritas Kristen nampak terencana. Selain
itu, penggunaan identitas yang sama, kesiapan senjata dan taktik dari setiap
kelompok penyerang mengarah ke target tertentu yang meliputi sebagian besar
pemukiman Kristen di kota Tual. Kelompok yang pertama, menyerang melalui jalan
samping lapangan Lodar El Kota Tual memasuki kuburan umum dengan sasaran
pemukiman Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh di sekitar pekuburan umum Tual.
Massa penyerang bergerak sambil menggusung keranda atau peti mati. Massa yang
diserang disekitar kuburan umum itu tidak menyangka bahwa keranda atau peti mati
yang dipikul itu penuh berisi senjata panah atau panah api, tombak dan parang
yang kemudian dipakai menyerang dan membakar pemukiman mayoritas Kristen di
Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Kelompok yang kedua menyerang melalui jalan
menuju ke Kuburan Cina dengan sasaran pemukiman Kristen di daerah Kubur Cina
dan Kampung Mangga di Tual. Di pemukiman ini terletak gedung Gereja GPM Sion
dan Perumahan Klasis Pulau-Pulau Kei Kecil. Kelompok yang ketiga, menyerang
melalui jalan baru Wearhir dengan sasaran Kampung Baru dan Un di Tual namun
kelompok ini dapat dihalau oleh penduduk dan serangan ini berakhir pukul 17.30
wit.
Kerusuhan di Tual bisa meledak karena
aparat keamanan bertindak tidak efektif. Isu penyerangan yang telah beredar
sebelumnya nampak tidak diantisipasi dengan tindakan pencegahan dini, atau
membubarkan massa yang mulai menumpuk pada tanggal 30 Maret 1999 di pusat kota
Tual. Kejelasan identitas massa yang menumpuk itu sekaligus menunjukkan adanya
gerakan terorganisasi. Tanpa gerakan penangkalan ABRI, massa dengan leluasa
bergerak sekitar pukul 04.30 wit menyerang lokasi-lokasi yang dikenal sebagai
pemukiman mayoritas Kristen, yaitu Kubur Cina, Kampung Baru, Kampung Mangga,
Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Aparat keamanan yang seharusnya menangani
konflik massa malah menembak ke arah massa yang mempertahankan diri dari
serangan, sehingga terdapat tiga orang korban jatuh akibat terkena peluru
aparat keamanan.
Namun beruntung kerusuhan yang
terjadi di kota Tual tidak berlangsung lama, tepatnya satu minggu kemudian
suasana kota Tual mulai berangsur aman, karena adanya kesadaran dari semua
pihak yang menyadari tali persaudaraan antar agama yang disebut Pela (hubungan
keluarga karena perkawinan), sehingga masyarakat kota Tual menyadari bahwa
kerusuhan yang terjadi sama saja seperti melakukan perang antar saudara. Pada
akhirnya semua pihak menyadari kekeliruannya dan kembali memperbaiki kerukunan
yang sudah terkoyak dan kerusuhan yang terjadi di kota Tual Maluku Tenggara dapat
diselesaikan.
Perdamaian di Tual memang tidak
datang serta-merta. Ketika masyarakat terbelah menjadi dua antara kelompok
Islam dan Kristen, tokoh-tokoh
perantauan dari Tual segera berinisiatif untuk membuka dialog. Pada
waktu kerusuhan di Ambon meletus Januari 1999, mereka mulai menjalin komunikasi
di Jakarta dan kemudian membentuk Keluarga Besar Masyarakat Maluku Tenggara
(KBMMT).
Karena sejak dulu masyarakat di kota
Tual selalu terikat dengan ‘’Ain Ni Ain’’ (kita adalah satu) maka upaya
perdamaian pun dilakukan dan diterima oleh semua pihak. Sehingga perdamaian
Tual di wilayah Maluku Tenggara kemudian menjadi salah satu tujuan pengungsi
dari wilayah Maluku lainnya seperti dari Ambon. Keadaan ini cukup memberatkan
meski masyarakat kota Tual tidak bisa menolak kehadiran pengungsi, khususnya
yang masih memiliki nenek moyang di kota Tual. Sehingga setiap pengungsi yang
datang diberi pengarahan dan diminta membuat pernyataan untuk tidak membawa
kerusuhan yang kedua kalinya ke kota Tual.
Dan pada akhirnya, kota Tual Maluku
Tenggara kini menggeliat kembali dan keadaan kota Tual kembali normal, tetapi
dampak kerusakan akibat kerusuhan cukup besar. Namun, semua kini telah teratasi
dan masyarakat kota Tual dari semua pihak baik Islam, Kristen, maupun Katolik
hidup rukun dan damai. Dari semua pihak tak ada lagi yang ingin mengulangi
pertikaian yang pernah terjadi untuk yang kedua kalinya, semuanya tidak mau
terpengaruh lagi dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan
tersendiri jika terjadi kerusuhan. Sehingga masyarakat kota Tual lebih memilih
untuk tetap menjaga ikatan ‘’Ain Ni Ain’’ dan tali persaudaraan yang sudah lama
terjalin dengan baik
Kemudian saya akan membahas tentang konflik kedua,yaitu RMS versus
pemerintah pusat
Transisi politik di negara manapun,
rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam konteks negara
kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik
Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan
Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia
Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa
minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan
Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa di
Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS,
negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat
untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia
Timur.
Di negara Indonesia Timur, banyak
warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan administrasi kolonial Belanda.
Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jika terjadi peralihan
rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu,
pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia
didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan
politik kiri. Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara
serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS
Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah
kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan
negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia.
Sebelumnya, tanggal 25 April 1950,
dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik Maluku Selatan.
Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairisal. Pemerintah
segera melakukan serangan politik dan militer kepada negara sempalan ini dan
menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur
tidak punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sayangnya,
anasir RMS tidak begitu saja menerima kenyataan. Banyak di antara mereka
melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa Barat lain.
Ruth Saiya mencatat, dukungan atas
RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas agama. Namun, secara
keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat
Maluku saja. Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku saat
Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para
pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan
Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan. Jika pernyataan-pernyataan
sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk
kegamangan para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup
cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik sebagian kecil elit lokal
Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat.
Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk
baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999 dengan munculnya organisasi Front
Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap
dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para provokator, RMS
ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan
nasional mudah memanas.
Deklarasi Malino II untuk Maluku
ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima perwakilan Islam, tiga
puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik, kepala desa,
serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para
penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis,
termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah,
secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri.
Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius menyikapi
kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan
mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik
Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang
ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tim Penyelidik bertugas mencari
keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga menjadi penyebab
kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue tentang Republik
Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan
Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang
pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang
terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat
belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi
Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku.
Di awal kemunculannya, RMS lebih
merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privilese-privilese yang mereka
terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara Indonesia
Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi
politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku
Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu
faktual, yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan,
tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media massa jadi seolah-olah besar.
Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh
Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran
yang paling rendah.
Contoh upaya RMS melakukan blow-up
isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari
Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka, Ambon.Peristiwa ini
dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok penari
berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari Cakalele disertai
pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku Selatan, di
depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media
massa mengkonsumsinya sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat
perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik
Referensi:
luk.staff.ugm.ac.id/kmi/ambon/Menjelang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar