Sabtu, 12 Desember 2015

Menteri Susi: penenggelaman kapal mesti Konsensus Nasional

                                                                                                             Menteri Susi: penenggelaman kapal mesti konsensus nasional
 Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, penenggelaman kapal yang mencuri ikan di kawasan perairan Indonesia mesti menjadi suatu gerakan konsensus atau kesepakatan nasional sehingga benar-benar efektif dan menjadi efek jera.

"Penenggelaman kapal harus konsensus nasional," kata Susi Pudjiasturi dalam diskusi pangan yang digelar di Jakarta, Senin.

Menurut Susi, bila kapal pencuri ikan yang membawa muatan ilegal berisi miliaran rupiah tetapi ternyata hanya didenda ratusan juta rupiah oleh pengadilan, maka hal tersebut sama saja mengundang berbagai pihak untuk mencuri ikan di Indonesia.

Menteri Susi juga mengingatkan bahwa bila Presiden Joko Widodo sebagai pucuk pimpinan tertinggi sudah bicara dengan tegas untuk menyita dan menenggelamkan, maka hal tersebut seharusnya juga dijalankan seluruh pihak.

Susi juga menegaskan bahwa konsensus bukan berarti melakukan intervensi kepada pengadilan, karena dari 41 kapal yang telah ditenggelamkan pada Mei 2015, sebanyak 40 kapal hasil tangkapan pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi hanya satu kapal yg hasil tangkapan dari 2009.

Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengutarakan kekecewaannya karena putusan di Pengadilan Negeri Ambon terhadap enam kapal (termasuk kapal MV Hai Fa yang sekarang sudah kembali ke Tiongkok), hanya melaksanakan vonis denda terhadap tindakan pencurian ikan tersebut.

Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/502885/menteri-susi-penenggelaman-kapal-mesti-konsensus-nasional

Jumat, 04 Desember 2015

Kemajemukan di Indonesia dari segi pedekatan konflik


Konflik Maluku


Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu:
            1.  Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
            2.  Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam


Di Maluku terdapat 2 konflik,yaitu konflik vertikal bernuansa agama.dan di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.yang pertama saya akan membahas konflik maluku tahun 1999 – 2002

Pada tahun 1999 hingga tahun 2002 konflik antara orang Kristen dan Muslim di Kepulauan Maluku, termasuk daerah saya di kota Tual Maluku Tenggara berdampak pada kematian puluhan orang dan mengungsinya ribuan orang lainnya. Kerusuhan yang meledak di Tual akhir bulan Maret 1999 ini mempunyai banyak kesamaan pola antara kerusuhan Tual dan kerusuhan Ambon. Artinya, telah terjadi pengulangan pola kerusuhan Ambon di Tual. Hal ini mendukung petunjuk tentang adanya upaya pelebaran kerusuhan dan upaya melanggengkan kerusuhan di Maluku.
Faktor pemicu kerusuhan Tual mengandung muatan sentimen agama. Sedikitnya, dua hari sebelum kerusuhan meledak pada tanggal 28 Maret 1999, muncul tulisan yang menghina Yesus di daerah Kiom kota Tual. Tulisan itu kemudian bersahut di daerah Wearhir kota Tual pada tanggal 29 Maret 1999, dengan nada mengejek Nabi Muhammad SAW. Saat itu, isu telah beredar bahwa akan ada aksi-aksi kelompok massa tertentu dengan menggunakan warna agama dalam penyerangan.
Pada tanggal 30 Maret 1999, sekitar pukul 13.30 wit massa yang berasal dari desa Dullah, Ngadi, Tamadan, Letman, Ohoitahit, bergabung dengan massa yang ada di kota Tual dan membagi diri dalam tiga kelompok. Kelompok massa yang pertama berkumpul di Mesjid Raya Tual dengan arahan dan komando yang menggunakan pengeras suara. Kelompok yang kedua berkumpul di daerah Jiku Ampat dan Kiom. Kelompok yang ketiga berkumpul di daerah Wearhir. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 200 sampai dengan 300 orang dengan memakai ikat kepala putih.

Penyerangan yang dilakukan pada saat itu, mengarah ke pemukiman-pemukiman mayoritas Kristen nampak terencana. Selain itu, penggunaan identitas yang sama, kesiapan senjata dan taktik dari setiap kelompok penyerang mengarah ke target tertentu yang meliputi sebagian besar pemukiman Kristen di kota Tual. Kelompok yang pertama, menyerang melalui jalan samping lapangan Lodar El Kota Tual memasuki kuburan umum dengan sasaran pemukiman Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh di sekitar pekuburan umum Tual. Massa penyerang bergerak sambil menggusung keranda atau peti mati. Massa yang diserang disekitar kuburan umum itu tidak menyangka bahwa keranda atau peti mati yang dipikul itu penuh berisi senjata panah atau panah api, tombak dan parang yang kemudian dipakai menyerang dan membakar pemukiman mayoritas Kristen di Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Kelompok yang kedua menyerang melalui jalan menuju ke Kuburan Cina dengan sasaran pemukiman Kristen di daerah Kubur Cina dan Kampung Mangga di Tual. Di pemukiman ini terletak gedung Gereja GPM Sion dan Perumahan Klasis Pulau-Pulau Kei Kecil. Kelompok yang ketiga, menyerang melalui jalan baru Wearhir dengan sasaran Kampung Baru dan Un di Tual namun kelompok ini dapat dihalau oleh penduduk dan serangan ini berakhir pukul 17.30 wit.
Kerusuhan di Tual bisa meledak karena aparat keamanan bertindak tidak efektif. Isu penyerangan yang telah beredar sebelumnya nampak tidak diantisipasi dengan tindakan pencegahan dini, atau membubarkan massa yang mulai menumpuk pada tanggal 30 Maret 1999 di pusat kota Tual. Kejelasan identitas massa yang menumpuk itu sekaligus menunjukkan adanya gerakan terorganisasi. Tanpa gerakan penangkalan ABRI, massa dengan leluasa bergerak sekitar pukul 04.30 wit menyerang lokasi-lokasi yang dikenal sebagai pemukiman mayoritas Kristen, yaitu Kubur Cina, Kampung Baru, Kampung Mangga, Kampung Pisang dan Petak Dua Puluh. Aparat keamanan yang seharusnya menangani konflik massa malah menembak ke arah massa yang mempertahankan diri dari serangan, sehingga terdapat tiga orang korban jatuh akibat terkena peluru aparat keamanan.
 Namun beruntung kerusuhan yang terjadi di kota Tual tidak berlangsung lama, tepatnya satu minggu kemudian suasana kota Tual mulai berangsur aman, karena adanya kesadaran dari semua pihak yang menyadari tali persaudaraan antar agama yang disebut Pela (hubungan keluarga karena perkawinan), sehingga masyarakat kota Tual menyadari bahwa kerusuhan yang terjadi sama saja seperti melakukan perang antar saudara. Pada akhirnya semua pihak menyadari kekeliruannya dan kembali memperbaiki kerukunan yang sudah terkoyak dan kerusuhan yang terjadi di kota Tual Maluku Tenggara dapat diselesaikan.
Perdamaian di Tual memang tidak datang serta-merta. Ketika masyarakat terbelah menjadi dua antara kelompok Islam dan Kristen, tokoh-tokoh  perantauan dari Tual segera berinisiatif untuk membuka dialog. Pada waktu kerusuhan di Ambon meletus Januari 1999, mereka mulai menjalin komunikasi di Jakarta dan kemudian membentuk Keluarga Besar Masyarakat Maluku Tenggara (KBMMT).
Karena sejak dulu masyarakat di kota Tual selalu terikat dengan ‘’Ain Ni Ain’’ (kita adalah satu) maka upaya perdamaian pun dilakukan dan diterima oleh semua pihak. Sehingga perdamaian Tual di wilayah Maluku Tenggara kemudian menjadi salah satu tujuan pengungsi dari wilayah Maluku lainnya seperti dari Ambon. Keadaan ini cukup memberatkan meski masyarakat kota Tual tidak bisa menolak kehadiran pengungsi, khususnya yang masih memiliki nenek moyang di kota Tual. Sehingga setiap pengungsi yang datang diberi pengarahan dan diminta membuat pernyataan untuk tidak membawa kerusuhan yang kedua kalinya ke kota Tual.
Dan pada akhirnya, kota Tual Maluku Tenggara kini menggeliat kembali dan keadaan kota Tual kembali normal, tetapi dampak kerusakan akibat kerusuhan cukup besar. Namun, semua kini telah teratasi dan masyarakat kota Tual dari semua pihak baik Islam, Kristen, maupun Katolik hidup rukun dan damai. Dari semua pihak tak ada lagi yang ingin mengulangi pertikaian yang pernah terjadi untuk yang kedua kalinya, semuanya tidak mau terpengaruh lagi dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan tersendiri jika terjadi kerusuhan. Sehingga masyarakat kota Tual lebih memilih untuk tetap menjaga ikatan ‘’Ain Ni Ain’’ dan tali persaudaraan yang sudah lama terjalin dengan baik


Kemudian saya akan membahas tentang konflik kedua,yaitu RMS versus pemerintah pusat


Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur. 

Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik kiri. Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia. 

Sebelumnya, tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairisal. Pemerintah segera melakukan serangan politik dan militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja menerima kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa Barat lain. 

Ruth Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat Maluku saja. Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan. Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat. 

Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999 dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan nasional mudah memanas. 

Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku. 

Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah. 

Contoh upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka, Ambon.Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik

Referensi:
luk.staff.ugm.ac.id/kmi/ambon/Menjelang.html


Jumat, 06 November 2015

Manusia sebagai mahkluk berbudaya

Manusia Sebagai Mahkluk Berbudaya

BAB I 
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
          Pada hakekatnya manusia telah diberi anugrah oleh Allah SWT berupa akal dan nafsu, akal dan nafsu inilah yang mendorong manusia untuk menciptakan sesuatu yang dapat mewujudkan cita-cita atau penghargaannya. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut manusia telah menciptakan sains, teknologi dan seni sebagai salah satu sarana sehingga sejak saat itu kehidupan manusia mulai berubah. Selain itu sains, teknologi, dan seni juga telah mempengaruhi peradapan manusia dalam kehidupannya terutama dalam bidang budaya.


           Seiring dengan perkembangan teknologi dan seni diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap bidang-bidang lain, khususnya budaya yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Pemanfaatan kemajuan teknologi, dan seni secara baik haruslah diterapkan, sehingga dapat menjaga kelestarian budaya bangsa. Manusia tidak dapat lepas dari kebudayaan, disebabkan kebudayaan merupakan cara beradaptasi manusia dengan lingkungannya yang merupakan warisan sosial. Dan kebudayaan itu sendiri bagi manusia berguna untuk mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah masyarakat menuju taraf hidup tertentu yang lebih baik, manusiawi, dan berperi kemanusiaan.

B.     Rumusan Masalah

1.Apa pengertian kebudayaan?
2.Apakah yang dimaksud dengan manusia sebagai makhluk berbudaya?
3.Apakah kaitan antara manusia dengan kebudayaan ?
4.Apakah perwujudan kebudayaan dalam kehidupan manusia?
5.Apakah yang menyebabkan manusia disebut makhluk yang berbudaya?                                                                                                                                                                                        
C.     Tujuan

          Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk memahami segala aspek tentang kebudayaan seperti halnya : pengertian kebudayaan, maksud manusia sebagai makhluk berbudaya,kaitan antara manusia dengan kebudayaan, perwujudan kebudayaan dalam kehidupan manusia, manusia disebut makhluk yang berbudaya. Kita sebagai subyek yang berperan utama mempunyai peranan yang sangat penting dalam aspek sebagai pelaku budaya. Dengan kita menjaga kelestarian budaya maka kita dapat melestarikan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk pribadi kita masing-masing.                  




BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pengertian kebudayaan

          Pengertian kebudayaan ditinjau dari bahasa sansakerta “budhayah” (jamak), budhi=budi/akal. Jadi kebudayaan adalah hasil akal manusia untuk mencapai kesempurnaan EB. Taylor mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan serta yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Atau diartikan pula segala sesuatu yang diciptakan manusia baik materi maupun non material melalui akal. Budaya itu tidak diwariskan secara generative (biologis) tapi melalui belajar.
Menurut Koentjaraningrat: kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
          Budaya merupakan ciri khas dari suatu daerah yang menggambarkan hubungan kebersamaan atau panutan di antara masyarakat setempat. Dari banyak ragam budaya yang ada masing-masing memiliki arti atau pengertian masing-masing dari budaya tersebut. Dan cara melakukannya juga berbeda-beda, ini menunjukkan bahwa budaya merupakan cerminan dari diri seseorang. Banyak manfaat yang kita peroleh dari kita mengikuti budaya, namun bukan budaya yang menyimpang. Melainkan, budaya yang sudah kita tekuni mulai dari kita lahir yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat setempat. Kebersamaan, gotong royong, kekeluargaan dan hubungan timbal balik lainnya


B.     Pengertian Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya

            Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu.
            Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera.  Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

            Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

         Manusia sebagai Makhluk Berbudaya berarti manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dari makhluk – makhluk lain yang diciptakan di muka bumi ini yaitu manusia memiliki akal yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan ide dan gagasan yang selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

         Manusia dikatakan sebagai makhluk berbudaya, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan anugerah yang terindah yaitu dengan diberikan akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini. Akal dan pikiran itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya misalnya, hewan. Selain itu, manusia juga memiliki akal, intelegensi, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki manusia itu maka manusia mampu menciptakan kebudayaan. Karena, dengan berbudaya manusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya

         Karena pada dasarnya manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa menggunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya.                                                                                                                      


C.     Kaitan antara manusia dengan kebudayaan
          Budaya sebagai sistem gagasan menjadi pedoman bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku. Seperti apa yang dikatakan Kluckhohn dan Kelly bahwa “Budaya berupa rancangan hidup” maka budaya terdahulu itu merupakan gagasan prima yang kita warisi melalui proses belajar dan menjadi sikap perilaku manusia berikutnya yang kita sebut sebagai nilai budaya.
           Berdasarkan penjelasan di atas, kaitan antara manusia dan kebudayaan manusia adalah kebudayaan adalah hasil dari ide, gagasan dan pemikiran baik nyata ataupun abstrak dan juga sebagai rancangan hidup masa depan.. Jadi dapat diartikan pula bahwa semakin tinggi tingkat kebudayaan manusia, semakin tinggi pula tingkat pemikiran manusia tersebut. Dan kebudayaan itu digunakan untuk melangsungkan kehidupan bermasyarakat antar manusia karena sifat manusia yaitu makhluk sosial yaitu manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan harus hidup dengan manusia lainnya.

D.     perwujudan kebudayaan dalam kehidupan manusia
          JJ. Hogman dalam bukunya “The World of Man” membagi budaya dalam tiga wujud yaitu: ideas, activities, dan artifacts. Sedangkan Koencaraningrat, dalam buku “Pengantar Antropologi” menggolongkan wujud budaya menjadi:
 a. Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
 b. Sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
 c. Sebagai benda-benda hasil karya manusia

            Berdasarkan bentuknya, budaya dapat dibagi menjadi 2 yaitu budaya yang bersifat abstrak dan budaya yang bersifat konkret atau nyata:
o   Budaya yang bersifat abstrak: budaya yang tidak dapat dilihat secara kasat mata karena bearada dalam pemikiran manusia. Contohnya yaitu ide, gagasan, cita-cita dan lain sebagainya.
             Budaya yang bersifat konkret: budaya yang berpola dari tindakan atau peraturan dan aktivitas manusia di dalam masyarakat yang dapat diraba, dilihat, diamati, disimpan atau diphoto        


E.     Penyebab manusia dikatakan sebagai makhluk berbudaya
           Karena pada dasarnya manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa menggunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya.
           Dalam kehidupan bermasyarakat kebudayaan merupakan perangkat ampuh dalam sejarah manusia yang dapat berkembang dan dikembangkan. Maka dari itu manusia disebut sebagai makhluk berbudaya, karena kebudayaan itu bergantung pada manusia itu sendiri, manusia menjadi tolak ukur kebudayaan dalam suatu Negara atau kelompok bermasyarakat. Pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari suatu bangsa.
           Karena berbudaya merupakan kelebihan manusia dibanding mahluk lain,Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk lainnya, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Oleh karena itu manusia harus menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepemimpinannya di muka bumi disamping tanggung jawab dan etika moral harus dimiliki, menciptakan nilai kebaikan, kebenaran, keadilan dan tanggung jawab agar bermakna bagi kemanusiaan. Selain itu manusia juga harus mendayagunakan akal budi untuk menciptakan kebahagiaan bagi semua makhluk Tuhan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non material. Budaya merupakan perwujudan dari ide dan gagasan manusia. Sedangkan kebudayaan adalah kristalisasi dari berbagai pemikiran manusia. Sehingga tingkat kebudayaan suatu bangsa akan berbanding lurus dengan tingkat pemikiran dan peradaban bangsa tersebut. Karena manusia juga merupakan khalifah (pemimpin) dimuka bumi ini, manusia harus menguasai segala sesuatu untuk memimpin bumi ini kearah yang lebih baik. Di sinilah peran kebudayaan sebagai hasil atau perwujudan  dari berbagai gagasan manusia di bumi ini dalam tugasnya sebagai seorang pemimpin.
B.     Saran
Kita harus membuka diri terhadap perkembangan kebudayaan selagi itu berpengaruh positif terhadap kebudayaan yang kita miliki.


Daftar pustaka

https://www.scribd.com/doc/266407954/Manusia-Sebagai-Makhluk-Budaya

Jumat, 23 Oktober 2015

Komunitas Cosplay



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



BAB I
PENDAHULUAN


            A.  LATAR BELAKANG

Pada dasarnya, komunitas dibentuk dengan berorientasi pada kesenangan atau kepuasan. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan setiap anggota komunitas, untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan batin. Misalnya, komunitas pecinta alam yang sering melakukan kegiatan reboisasi di kawasan hutan gundul. Mereka melakukan ini di dorong oleh hal yang sama, yaitu sama-sama mencintai alam. Fasilitas yang ada dalam proses reboisasi ini merupakan sumbangan  secara suka rela oleh setiap anggota. Bagi mereka, kegiatan reboisasi memberi kepuasan batiniah.
Kehadiran sebuah komunitas sering mendapat penilaian oleh masyarakat lewat kegiatan atau program yang dilakukan. Komunitas yang di anggap memberi kontribusi positif kepada masyarakat lebih banyak di ingat dan dihargai keberadaannya, demikian juga sebaliknya. Komunitas yang kehadirannya di anggap hanya berupa forum untuk mencapai kesenangan atau bahkan kehadirannya di anggap aneh karena kegiatan yang dilakukannya, akan lebih susah untuk di kenal dan di ingat masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat terlebih dahulu menilainya negatif tanpa mengenal komunitas itu dengan baik
Penilaian masyarakat akan kehadiran komunitas cosplay di Indonesia, tidaklah selalu memberi respon positif. Sering kali kegiatan yang dilakukan oleh mereka di anggap sesuatu yang aneh oleh masyarakat manakala mereka mengkonsumsi budaya Jepang, terutama penggunan pakaian yang identik dengan tokoh manga atau anime.
Banyak menilai hobi dari anggota komunitas ini terlalu kekanak-kanakan, tidak cinta budaya sendiri, dan masih banyak anggapan negatif lain nya. Kebanyakan  judge(main hakim sendiri) seperti itu hadir karena masyarakat Indonesia secara luas belum mengenal baik kehadiran komunitas ini


               B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Apa sih cosplay itu?
2.      Bagaimana perkembangan cosplay di indonesia?
3.      Sejarah cosplay
4.      Apa saja jenis jenis cosplay?
5.      Anggapan masyarakat terhadap cosplay?
6.      Komunitas cosplay bisa jadi bisnis?

            C. TUJUAN

             1. untuk memahami apa itu cosplay
             2. untuk mengetahui perkembangan cosplay di indonesia
             3. untuk mengetahui sejarah cosplay
             4. mengetahui apa saja jenis cosplay




BAB II
LANDASAN TEORI

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu melakukan interaksi sosial yang melibatkan orang disekitarnya. Frekuensi yang lebih intensif dari interaksi ini sering kali menghasilkan kelompok-kelompok sosial yang dinamakan “Komunitas”. Suatu kelompok sosial dinamakan komunitas , jika memiliki ciri komunitas itu sendiri.
Umumnya, terbentuknya sebuah komunitas dilatarbelakangi oleh kesamaan dari setiap anggotanya.
hobi mengenakan kostum seperti karakter film animasi kini seolah menjadi budaya baru dikalangan anak muda.gaya berpakainan seperti ini semakin menarik dengan tambahan aksesoris dan make up yang dibuat semirip mungkin dengan tokoh animasi yang ditiru.gaya demikian disebut cosplay


BAB III
PEMBAHASAN


A.   Pengenalan Cosplay
Cosplay adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang yang berasal dari gabungan kata “costume” (kostum) dan “play” (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, permainan video, atau penyanyi dan musisi idola. Cosplayer adalah orang yang melakukan Cosplay
Komunitas Cosplay Indonesia adalah arena berkumpul sesama penyuka cosplay (costume play). Disini para penyuka cosplay bisa saling bertukar informasi tentang event-event cosplay, dimana dapetin kostum, teknik kostum, dll. Kegiatan yang sudah pernah dibikin oleh komunitas ini diantaranya adalah cosplay gathering, dan harajuku & cosplay - otaku bazaar.

B.   Perkembangan Komunitas Cosplay di Indonesia

Awalnya, cosplay tidak begitu banyak di kenal di Indonesia. Pada awal 2000-an, beberapa event seperti Gelar Jepang UI mengadakan event Cosplay. Akan tetapi, saat itu belum ada yang berminat, cosplay pertama saat itu hanyalah EO dari acara Gelar Jepang tersebut.
Beranjak dari Event Jepang, beberapa pemuda-pemudi (kebanyakan pemudi) di Bandung memperkenalkan gayaHarajuku dan hadirnya cosplayer pertama yang bukan merupakan EO saat itu (Dhiko, 2010). Berlanjut hingga sekarang, hampir tiap bulannya selalu ada event cosplay di Jakarta. Di Medan sendiri baru diadakan selama empat  tahun terakhir ini dalam acara Bunkasai atau pun festival-festival kecil yang tersebar di tempat-tempat tertentu. Kemudian, ini terus berkembang di kota-kota besar yang lain.
Event ter-update dan  terbesar adalah saat para cosplayer diundang sebagai peserta dalam acara JF3(Jakarta food fashion festival) pada tanggal 22 mei 2010 . Banyak cosplayer yang hadir dan melakukan cosplay dengan maksimal pada saat itu.
Keanggotaan komunitas ini tidak memiliki syarat khusus, cukup hanya menjadi penggemar cosplay saja. Siapa saja bisa bergabung dalam komunitas ini. Namun, umumnya penggemar cosplay adalah para remaja hingga dewasa yang berusia 16-30 tahun. Mereka memiliki kesamaan hobi mengoleksi dan mengumpulkan referensi perkembangan terbaru tentang anime dan game-game online dari Jepang.
Sama seperti trend kostum dan pakaian yang berkembang di Jepang, setiap tahun cosplay mengalami perubahan. Tema kostum biasanya sesuai trend pada tahun itu.
Pada 2011 misalnya, cosplay banyak di dominasi kostum-kostum anime, seperti tokoh anime Naruto dan tokoh game online Ragnarok asal Korea.
Tahun 2012, trend kostum berubah lebih ke arah Indonesia, tetapi tidak sepenuhnya meninggalkan unsur-unsur kostum khas Jepang sesuai cosplay berasal.
Anggota cosplay terdiri dari berbagai macam dan golongan, mulai usia muda sampai tua dari anak sekolahan sampai level manajer sebuah perusahaan. Koleksinya bahkan ada yang melebihi lima puluh kostum.

C.   Sejarah Cosplay
Pada mulanya budaya ini dilakukan oleh orang-orang barat yang memakai kostum (disebut Pesta Topeng) dihari-hari perayaan besar seperti Hari Paskah dan Hallowen. Kemudian tradisi ini sampai ke Jepang pada tahun 1970-an dalam acara peragaan kostum (costume show). Di Jepang, peragaan "cosplay" pertama kali dilangsungkan tahun 1978 di Ashinoko, Prefektur Kanagawa dalam pesta topeng Nihon SF Taikai ke-17.

Kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum seperti tokoh dalam gambar sampul cerita “A Fighting Man of Mars” karya “Edgar Rice Burroughs”. Pada waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan kostum tokoh manga “Triton off the Sea” karya “Osamu Tezuka”. Sehingga media massa sering menulis kostum Triton of the Sea sebagai kostum cosplay pertama yang dikenakan di Jepang.

Selanjutnya, kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF Taikai ke-19 tahun 1980. Acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara pameran Doujinshi  dan pertemuan antar penggemar fiksi ilmiah di Jepang.

Dalam majalah Fanroad  edisi perdana bulan Agustus 1980, memuat berita khusus tentang “Tominoko-zoku” yaitu sekelompok anak muda yang ber-cosplay Gundam di kawasan Harajuku. Sebutan itu sendiri diambil dari nama pencipta Gundam, Yoshiyuki Tomino. Walaupun sebenarnya artikel tersebut hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut berhasil menjadikan "cosplay" sebagai istilah umum di kalangan penggemar anime.

Kegiatan cosplay dikabarkan mulai menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (disebut kamera-kozō) yang senang memotret kegiatan cosplay

D.   Cosplay di Indonesia
Pada awalnya cosplay tidak begitu banyak di kenal di Indonesia. Pada awal 2000-an, beberapa event seperti Gelar Jepang UI mengadakan Event Cosplay. Tetapi saat itu belum ada yang berminat, cosplay pertama saat itu hanyalah EO dari acara Gelar Jepang tersebut
Beranjak dari Event Jepang, beberapa pemuda-pemudi (kebanyakan pemudi) di Bandung memperkenalkan gaya Harajuku dan hadirnya cosplayer pertama yang bukan merupakan EO saat itu. Berlanjut hingga sekarang, hampir tiap bulannya selalu ada event cosplay di Jakarta, dan di kota-kota besar di Indonesia.

E.   Jenis-jenis Cosplay
Secara umum cosplay dinilai sama. Tetapi tak langsung dalam beberapa event yang terjadi di Indonesia sering dilakukan pembagian/kategori cosplay:
1.      Cosplay anime/manga. Cosplay yang berasal dari anime maupun manga. Biasanya manhwa termasuk didalamnya termasuk comic dari amerika.
2.      Cosplay Game. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter di Game.
3.      Cosplay Tokusatsu. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter di film tokusatsu.
4.      Cosplay Gothic. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter bernuansa gelap atau Gothic. Biasanya digabung dengan Lolita.
5.      Cosplay Original. Cosplay yang benar-benar original tidak ada di anime, tokusatsu dan lainnya. Atau memiliki dasar yang sama seperti tokoh game Kingdom heart misalnya: Sora (Kingdom Heart) tetapi berbentuk metalic (modern)
6.      Harajuku Style. Beberapa cosplayer sering menduga Harajuku style adalah bagian dari cosplay. Beberapa Harajuku style muncul di manga/anime seperti Nana.


F.    TUJUAN ber-COSPLAY

1. Membangkitkan sense of amazing.
2. Membangun rasa percaya diri.
3. Mengatasi rasa malu
4. Ajang pertemanan dan bersosialisasi
5. Melatih keberanian tampil di atas panggung atau area publik


G.   Anggota Komunitas cosplay butuh anggaran besar

            Menjalani hobi cosplay juga berarti siap menguras kantong. Ini adalah konsekuensi yang harus dimaklumi seorang cosplayer. Bergelut di komunitas ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pembuatan kostum. Terutama dana untuk bahan dan menjahitnya. Bisa saja kita memfungsikan dana yang pas-pasan, tetapi tentu saja kostum yang kita dapatkan juga pas-pas an. Apalagi dengan kondisi di Indonesia yang belum memiliki penjahit yang profesional dalam penjahitan kostum sehingga hasilnya kurang memuaskan. Jika kita mau kostum yang akan dibuat semakin mirip dengan tokoh idola kita maka kita harus rela mengeluarkan uang banyak.
            Memahami keuangan yang pas-pasan, sedangkan hobi cosplay harus lah all out  atau total dengan menerima resiko terbesar yaitu “biaya”, banyak penggemar cosplay yang berhenti di tengah jalan. Menjalani hobi ini sama membutuhkan biaya yang hampir sama dengan modif kendaraan (Dwi Okta Nugroho, 2011).
            Akan tetapi, biasanya bagi komunitas cosplay, faktor biaya ini bisa diatasi dengan patungan atau memanfaatkan kreativitas dengan memakai barang apa adanya dengan hasil semaksimal mungkin. Terlepas dari berbagai kendala dalam bercosplay memang yang   di cari adalah kepuasan dan hal ini tidak bisa di ukur dengan materi.
 Komunitas Cosplay yang sudah profesional biasanya selalu mengikuti event cosplay diberbagai kota atau di luar negeri, berapa pun biaya pasti dikeluarkan, terkadang ada tim cosplay yang justru dibiayai dan dibayar oleh penyelenggara.

H.  Anggapan Komunitas cosplay adalah  kebudayaan yang berlebihan

Banyak yang menyangkut pautkan cosplay sebagai peniruan budaya jepang bahkan ada yang menggunjing cosplayer sebagai pengkhianat bangsa karena tidak menghargai budaya sendiri, padahal di jepang sendiri para cosplayer merupakan generasi peradaban baru yang ditolak oleh budaya tradisonal dari pandangan umum masyarakat.
Penilaian masyarakat akan komunitas cosplay yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, tidak sepenuhnya benar. Pemahaman budaya tidak selalu berorientasikan hal yang lama atau yang diwariskan. Budaya juga bisa dipakai untuk menunjuk pada suatu proses umum dari perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika sebuah masyarakat (Hikmat Budiman, 2002:41). Cosplay sendiri merupakan bagian dari estetika yang dianggap oleh cosplayer sebagai bagian budaya.

Ada pun alasan cosplay di anggap sebagai budaya dapat dilihat dari beberapa bidang, yaitu :
Cosplay sebagai fashion system
Fashion system dalam mengonstruksikan nilai-nilai budaya dapat dilihat dalam fenomena Harajuku. Nama Harajukusendiri diambil dari nama wilayah yang terletak di Distrik Shibuya, Tokyo yang menjadi pusat berekspresi kaum urban Jepang. Fenomena Harajuku di Indonesia misalnya dapat kita lihat dari maraknya festival ‘jepang-jepangan’ di berbagai kesempatan.
Di Jepang, peserta cosplay bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (Dōjin Circle), seperti Comic Market, atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar cosplay termasuk cosplayer maupun bukan cosplayer sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika, RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia.
           
Satu hal yang unik dari para cosplayer di Indonesia, cosplayer indonesia berusaha menjadi karakter yang mereka mainkan, tetapi masih menggunakan logika situasi dan kondisi, serta sadarnya akan keinginan untuk menaikkan nama Indonesia. Hal ini disebut originalitas dalam bercosplay.
Jika flash back ke perkembangan cosplay sendiri, dapat diketahui bahwa cosplay awalnya bukan lah dari Jepang dan tidak hanya berkutat sekitar Jepang. Ada juga yang menganut cosplay west version, seperti halnya Edwin Ramadhani SA pada event JF3 yang memerankan Jason Vors, karakter misteri dan horor dari amerika. Akan tetapi, cosplayerIndonesia sendiri masih menggunakan logika situasi dan kondisi. Jika dia memerankan secara total jason tadi maka dia akan diam dan mulai menimbulkan keributan.
Salah satu alasan masyarat Indonesia belum bisa menerima komunitas ini secara luas, karena mereka mengkhawatrikan kehadiran cosplay menjadi lebih dominan.Di Jepang sendiri, cosplay sudah menjadi bagian budaya dan gaya hidup. Akan tetapi, kemungkinan terjadinya hal ini di Indonesia sangat kecil. Hal ini ditegaskan oleh Gilang Ayu, salah satu pendiri J-Zone, komunitas cosplay Malang.

I.      Komunitas cosplay sebagai bisnis

Jika cosplayer sudah cukup puas dengan hasil yang dia miliki tapi ingin lebih berkreativitas dalam dunia ini ,ternyata bisnis juga merangkul para cosplayer, dengan adanya jasa penyewaan dan penjualan kostum dan aksesori, menjadikan cosplayer sebagai model fotografi, adanya kompetisi cosplay di dalam negeri dan internasional. Ada dua orang yang sudah mengharumkan nama indonesia di internasional, nick mereka adalah Pinky Luxun dan Orochi X dari Endiru/ Endless illusion team.
Sementara dari pihak cosplayer sendiri bergabung di komunitas cosplay memberi kontribus bagai self image mereka. Lima bagian utama dari self image ini (Diko, 2010) :
1.      Self-control
Kerja keras dan Seni peran adalah inti dari aktivitas ini. kontrol diri adalah yang paling utama bagi para cosplayer. Ditengah gunjingan masyarakat, mereka harus mampu mengatur diri mereka agar tetap fokus pada hoby mereka ini.
2.      Self –advance
Sebagai individu yang berkembang, cosplayer memiliki kemampuan berpikir dan berperilaku yang berbeda dari orang umum. Tidak banyak yang ingin mengembangkan diri dalam dunia hobi mereka. Bagi mereka cosplay adalah hal yang menyenangkan. Untuk mencapai hal itu diperlukan pengembangan skill, baik itu dari kemampuan non-formal, seperti menjahit, melukis, mendesain dan sejenisnya atau pengembangan skill utama, seperti memerankan suatu tokoh sampai menggunakan bahasa asli dari tokoh tersebut.
3.      Self-satisfaction
Tidak ada yang lebih memuaskan bagi cosplayer jika karyanya bisa menunjukkan ekspresi dia. Hasil kerja kerasnya ternyata mampu membuat orang lain tersenyum , bahkan mungkin ada yang mengajak foto bersama. Tersiratnya, ekspresi cosplayer mampu memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Cosplayer lebih memiliki kepuasan diri yang besar. Mereka lebih sehat secara psikologis karena  mampu menghargai diri sendiri, dan puas atas apa yang telah dilakukan.
4.      Self-esteem
Menyikapi segala permasalahan dengan kekeluargaan, bersikap dewasa, berani ambil keputusan, dan tidak takut terhadap siapapun yang berkata tidak baik, adalah kepribadian positif yang dapat ditemui pada cosplayer. Mereka kepribadian  yang kuat, seperti berkata “Tidak masalah pandangan orang lain, kita tidak mengganggu orang lain, jika orang lain menganggu kita artinya mereka tidak mampu seperti kita”.
5.      Unique personality
Banyak keunikan yang dapat ditemukan dalam diri masing-masing cosplayer. Mereka mampu memilah-milah mana sikap yang bisa mereka ambil dari peran mereka atau malah merubah peran yang akan mereka perankan dengan pribadi asli mereka. Memiliki imajinasi untuk berkreativitas juga merupakan kepribadian yang umumnya dimiliki oleh mereka.


BAB IV
PENUTUP

A.   SIMPULAN

Muncul dan berkembangnya sebuah komunitas adalah fenomena sosial yang wajar. Setiap komunitas memiliki kegiatan yang menunjukkan identitas komunitas mereka sendiri. Demikian juga halnya dengan komunitas cosplay. Mereka menekuni hobinya dengan memerankan karakter tokoh idola dan mengenakan kostum tokoh tersebut. Hal ini, menunjukkan identitas keberadaan komunitas ini.
Dengan pengenalan cosplay lewat makalah ini, pembaca diharapkan dapat menilai komunitas lain nya di masyarakat dengan lebih bijak lagi, yaitu dengan mengenal lebih baik lagi komunitas itu. Penulis menyadari referensi yang dicantumkan dalam makalah ini belum cukup luas mengulas komunitas cosplay, namun penulis berharap pembaca bisa memperoleh wawasan mengenai komunitas cosplay, sebagai salah satu yayasan yang saat ini sedangbooming di Indonesia.

B.   Saran

Memberi  value dan judge akan keberadaan suatu komunitas adalah gejala sosial yang juga lumrah. Hanya saja men-judge negatif suatu komunitas tanpa mengenal dengan baik komunitas itu adalah hal yang buruk. Sekali pun sebuah komunitas di nilai buruk oleh masyarakat, mereka juga memiliki hal positif.
Jepang sudah membuat budaya baru yang mendunia,penulis berharap Indonesia berkembang juga,walau bukan dibidang ini,tapi dibidang lain yang lebih baik




DAFTAR PUSTAKA







http://www.lagingetop.com/hobi/2014/02/17/13/cosplay-dan-sejarah-perkembangannya-di-indonesia