KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pada dasarnya, komunitas dibentuk dengan
berorientasi pada kesenangan atau kepuasan. Hampir seluruh kegiatan yang
dilakukan setiap anggota komunitas, untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan
batin. Misalnya, komunitas pecinta alam yang sering melakukan kegiatan
reboisasi di kawasan hutan gundul. Mereka melakukan ini di dorong oleh hal yang
sama, yaitu sama-sama mencintai alam. Fasilitas yang ada dalam proses reboisasi
ini merupakan sumbangan secara suka rela oleh setiap anggota. Bagi
mereka, kegiatan reboisasi memberi kepuasan batiniah.
Kehadiran sebuah komunitas sering mendapat
penilaian oleh masyarakat lewat kegiatan atau program yang dilakukan. Komunitas
yang di anggap memberi kontribusi positif kepada masyarakat lebih banyak di
ingat dan dihargai keberadaannya, demikian juga sebaliknya. Komunitas yang
kehadirannya di anggap hanya berupa forum untuk mencapai kesenangan atau bahkan
kehadirannya di anggap aneh karena kegiatan yang dilakukannya, akan lebih susah
untuk di kenal dan di ingat masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat terlebih
dahulu menilainya negatif tanpa mengenal komunitas itu dengan baik
Penilaian masyarakat akan
kehadiran komunitas cosplay di Indonesia, tidaklah selalu memberi respon
positif. Sering kali kegiatan yang dilakukan oleh mereka di anggap sesuatu yang
aneh oleh masyarakat manakala mereka mengkonsumsi budaya Jepang, terutama
penggunan pakaian yang identik dengan tokoh manga atau anime.
Banyak menilai hobi dari anggota komunitas ini terlalu
kekanak-kanakan, tidak cinta budaya sendiri, dan masih banyak anggapan negatif
lain nya. Kebanyakan judge(main
hakim sendiri) seperti
itu hadir karena masyarakat Indonesia secara luas belum mengenal baik kehadiran
komunitas ini
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa sih cosplay itu?
2.
Bagaimana perkembangan cosplay di indonesia?
3.
Sejarah cosplay
4.
Apa saja jenis jenis cosplay?
5.
Anggapan masyarakat terhadap cosplay?
6.
Komunitas cosplay bisa jadi bisnis?
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu melakukan
interaksi sosial yang melibatkan orang disekitarnya. Frekuensi yang lebih
intensif dari interaksi ini sering kali menghasilkan kelompok-kelompok sosial
yang dinamakan “Komunitas”. Suatu kelompok sosial dinamakan komunitas , jika
memiliki ciri komunitas itu sendiri.
Umumnya,
terbentuknya sebuah komunitas dilatarbelakangi oleh kesamaan dari setiap
anggotanya.
hobi mengenakan kostum seperti karakter film
animasi kini seolah menjadi budaya baru dikalangan anak muda.gaya berpakainan
seperti ini semakin menarik dengan tambahan aksesoris dan make up yang dibuat
semirip mungkin dengan tokoh animasi yang ditiru.gaya demikian disebut cosplay
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengenalan
Cosplay
Cosplay adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang yang
berasal dari gabungan kata “costume” (kostum) dan “play” (bermain). Cosplay
berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang
dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, permainan video, atau penyanyi dan
musisi idola. Cosplayer adalah orang yang melakukan Cosplay
Komunitas Cosplay Indonesia adalah arena
berkumpul sesama penyuka cosplay (costume play). Disini para penyuka cosplay
bisa saling bertukar informasi tentang event-event cosplay, dimana dapetin
kostum, teknik kostum, dll. Kegiatan yang sudah pernah dibikin oleh komunitas
ini diantaranya adalah cosplay gathering, dan harajuku & cosplay - otaku
bazaar.
B.
Perkembangan
Komunitas Cosplay di Indonesia
Awalnya, cosplay tidak
begitu banyak di kenal di Indonesia. Pada awal 2000-an, beberapa event seperti Gelar Jepang UI
mengadakan event Cosplay.
Akan tetapi, saat itu belum ada yang berminat, cosplay pertama saat itu
hanyalah EO dari acara Gelar Jepang tersebut.
Beranjak dari Event Jepang,
beberapa pemuda-pemudi (kebanyakan pemudi) di Bandung memperkenalkan gayaHarajuku dan
hadirnya cosplayer pertama
yang bukan merupakan EO saat itu (Dhiko, 2010). Berlanjut hingga sekarang,
hampir tiap bulannya selalu ada event cosplay
di Jakarta. Di Medan sendiri baru diadakan selama empat tahun terakhir
ini dalam acara Bunkasai atau
pun festival-festival kecil yang tersebar di tempat-tempat tertentu. Kemudian,
ini terus berkembang di kota-kota besar yang lain.
Event ter-update dan terbesar adalah
saat para cosplayer diundang
sebagai peserta dalam acara JF3(Jakarta food fashion festival) pada tanggal 22
mei 2010 . Banyak cosplayer yang
hadir dan melakukan cosplay dengan maksimal pada saat itu.
Keanggotaan komunitas ini
tidak memiliki syarat khusus, cukup hanya menjadi penggemar cosplay saja. Siapa
saja bisa bergabung dalam komunitas ini. Namun, umumnya penggemar cosplay
adalah para remaja hingga dewasa yang berusia 16-30 tahun. Mereka memiliki
kesamaan hobi mengoleksi dan mengumpulkan referensi perkembangan terbaru
tentang anime dan
game-game online dari
Jepang.
Sama seperti trend kostum dan pakaian yang berkembang di
Jepang, setiap tahun cosplay mengalami perubahan. Tema kostum biasanya sesuai trend pada tahun itu.
Pada 2011 misalnya, cosplay
banyak di dominasi kostum-kostum anime, seperti tokoh anime Naruto dan tokoh game online Ragnarok asal Korea.
Tahun 2012, trend kostum berubah lebih ke arah
Indonesia, tetapi tidak sepenuhnya meninggalkan unsur-unsur kostum khas Jepang
sesuai cosplay berasal.
Anggota cosplay terdiri dari berbagai macam
dan golongan, mulai usia muda sampai tua dari anak sekolahan sampai level
manajer sebuah perusahaan. Koleksinya bahkan ada yang melebihi lima puluh
kostum.
C.
Sejarah
Cosplay
Pada
mulanya budaya ini dilakukan oleh orang-orang barat yang memakai kostum
(disebut Pesta Topeng) dihari-hari perayaan besar seperti Hari Paskah dan
Hallowen. Kemudian tradisi ini sampai ke Jepang pada tahun 1970-an dalam acara
peragaan kostum (costume show). Di Jepang, peragaan "cosplay" pertama
kali dilangsungkan tahun 1978 di Ashinoko, Prefektur Kanagawa dalam pesta
topeng Nihon SF Taikai ke-17.
Kritikus
fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum seperti
tokoh dalam gambar sampul cerita “A Fighting Man of Mars” karya “Edgar Rice
Burroughs”. Pada waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan
kostum tokoh manga “Triton off the Sea” karya “Osamu Tezuka”. Sehingga media
massa sering menulis kostum Triton of the Sea sebagai kostum cosplay pertama
yang dikenakan di Jepang.
Selanjutnya,
kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF Taikai ke-19 tahun 1980.
Acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara pameran Doujinshi dan pertemuan antar penggemar fiksi ilmiah di
Jepang.
Dalam
majalah Fanroad edisi perdana bulan
Agustus 1980, memuat berita khusus tentang “Tominoko-zoku” yaitu sekelompok
anak muda yang ber-cosplay Gundam di kawasan Harajuku. Sebutan itu sendiri diambil
dari nama pencipta Gundam, Yoshiyuki Tomino. Walaupun sebenarnya artikel
tersebut hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut berhasil
menjadikan "cosplay" sebagai istilah umum di kalangan penggemar
anime.
Kegiatan
cosplay dikabarkan mulai menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak
itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (disebut kamera-kozō) yang senang
memotret kegiatan cosplay
D.
Cosplay
di Indonesia
Pada
awalnya cosplay tidak begitu banyak di kenal di Indonesia. Pada awal 2000-an,
beberapa event seperti Gelar Jepang UI mengadakan Event Cosplay. Tetapi saat
itu belum ada yang berminat, cosplay pertama saat itu hanyalah EO dari acara
Gelar Jepang tersebut
Beranjak
dari Event Jepang, beberapa pemuda-pemudi (kebanyakan pemudi) di Bandung
memperkenalkan gaya Harajuku dan hadirnya cosplayer pertama yang bukan
merupakan EO saat itu. Berlanjut hingga sekarang, hampir tiap bulannya selalu
ada event cosplay di Jakarta, dan di kota-kota besar di Indonesia.
E.
Jenis-jenis
Cosplay
Secara
umum cosplay dinilai sama. Tetapi tak langsung dalam beberapa event yang
terjadi di Indonesia sering dilakukan pembagian/kategori cosplay:
1. Cosplay
anime/manga. Cosplay yang berasal dari anime maupun manga. Biasanya manhwa
termasuk didalamnya termasuk comic dari amerika.
2. Cosplay
Game. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter di Game.
3. Cosplay
Tokusatsu. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter di film tokusatsu.
4. Cosplay
Gothic. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter bernuansa gelap atau
Gothic. Biasanya digabung dengan Lolita.
5. Cosplay
Original. Cosplay yang benar-benar original tidak ada di anime, tokusatsu dan
lainnya. Atau memiliki dasar yang sama seperti tokoh game Kingdom heart
misalnya: Sora (Kingdom Heart) tetapi berbentuk metalic (modern)
6. Harajuku
Style. Beberapa cosplayer sering menduga Harajuku style adalah bagian dari
cosplay. Beberapa Harajuku style muncul di manga/anime seperti Nana.
F.
TUJUAN ber-COSPLAY
1. Membangkitkan sense of amazing.
2. Membangun rasa percaya diri.
3. Mengatasi rasa malu
4. Ajang pertemanan dan bersosialisasi
5. Melatih keberanian tampil di atas panggung atau area publik
G. Anggota Komunitas cosplay butuh anggaran besar
Menjalani hobi cosplay juga berarti siap menguras kantong. Ini adalah
konsekuensi yang harus dimaklumi seorang cosplayer. Bergelut di komunitas ini membutuhkan dana
yang tidak sedikit untuk pembuatan kostum. Terutama dana untuk bahan dan
menjahitnya. Bisa saja kita memfungsikan dana yang pas-pasan, tetapi tentu saja
kostum yang kita dapatkan juga pas-pas an. Apalagi dengan kondisi di Indonesia
yang belum memiliki penjahit yang profesional dalam penjahitan kostum sehingga
hasilnya kurang memuaskan. Jika kita mau kostum yang akan dibuat semakin mirip
dengan tokoh idola kita maka kita harus rela mengeluarkan uang banyak.
Memahami keuangan yang pas-pasan, sedangkan hobi cosplay harus lah all out atau
total dengan menerima resiko terbesar yaitu “biaya”, banyak penggemar cosplay
yang berhenti di tengah jalan. Menjalani hobi ini sama membutuhkan biaya yang
hampir sama dengan modif kendaraan (Dwi Okta Nugroho, 2011).
Akan tetapi, biasanya bagi komunitas cosplay, faktor biaya ini bisa diatasi
dengan patungan atau memanfaatkan kreativitas dengan memakai barang apa adanya
dengan hasil semaksimal mungkin. Terlepas dari berbagai kendala dalam
bercosplay memang yang di cari adalah kepuasan dan hal ini tidak
bisa di ukur dengan materi.
Komunitas Cosplay yang sudah profesional biasanya
selalu mengikuti event cosplay
diberbagai kota atau di luar negeri, berapa pun biaya pasti dikeluarkan,
terkadang ada tim cosplay yang justru dibiayai dan dibayar oleh penyelenggara.
H. Anggapan Komunitas cosplay adalah
kebudayaan yang berlebihan
Banyak yang menyangkut pautkan cosplay
sebagai peniruan budaya jepang bahkan ada yang menggunjing cosplayer sebagai
pengkhianat bangsa karena tidak menghargai budaya sendiri, padahal di jepang
sendiri para cosplayer merupakan generasi peradaban baru yang ditolak oleh budaya
tradisonal dari pandangan umum masyarakat.
Penilaian masyarakat akan
komunitas cosplay yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, tidak sepenuhnya
benar. Pemahaman budaya tidak selalu berorientasikan hal yang lama atau yang
diwariskan. Budaya juga bisa dipakai untuk menunjuk pada suatu proses umum dari
perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika sebuah masyarakat (Hikmat
Budiman, 2002:41). Cosplay sendiri merupakan bagian dari estetika yang dianggap
oleh cosplayer sebagai bagian budaya.
Ada pun alasan cosplay di anggap sebagai
budaya dapat dilihat dari beberapa bidang, yaitu :
Cosplay sebagai fashion system
Fashion system dalam mengonstruksikan nilai-nilai budaya dapat dilihat
dalam fenomena Harajuku. Nama Harajukusendiri diambil dari nama wilayah yang terletak
di Distrik Shibuya, Tokyo yang menjadi pusat berekspresi kaum urban Jepang.
Fenomena Harajuku di Indonesia misalnya dapat kita lihat dari maraknya festival
‘jepang-jepangan’ di berbagai kesempatan.
Di Jepang, peserta cosplay
bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (Dōjin Circle), seperti Comic Market, atau
menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar cosplay
termasuk cosplayer maupun bukan cosplayer sudah tersebar di seluruh penjuru
dunia, yaitu Amerika, RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia.
Satu hal yang unik dari para
cosplayer di Indonesia, cosplayer indonesia
berusaha menjadi karakter yang mereka mainkan, tetapi masih menggunakan logika
situasi dan kondisi, serta sadarnya akan keinginan untuk menaikkan nama
Indonesia. Hal ini disebut originalitas dalam bercosplay.
Jika flash back ke perkembangan cosplay
sendiri, dapat diketahui bahwa cosplay awalnya bukan lah dari Jepang dan tidak
hanya berkutat sekitar Jepang. Ada juga yang menganut cosplay west version, seperti halnya Edwin Ramadhani SA pada
event JF3 yang memerankan Jason Vors, karakter misteri dan horor dari amerika.
Akan tetapi, cosplayerIndonesia sendiri masih menggunakan logika
situasi dan kondisi. Jika dia memerankan secara total jason tadi maka dia akan
diam dan mulai menimbulkan keributan.
Salah satu alasan masyarat
Indonesia belum bisa menerima komunitas ini secara luas, karena mereka
mengkhawatrikan kehadiran cosplay menjadi lebih dominan.Di Jepang
sendiri, cosplay sudah menjadi bagian budaya dan gaya hidup. Akan tetapi,
kemungkinan terjadinya hal ini di Indonesia sangat kecil. Hal ini ditegaskan
oleh Gilang Ayu, salah satu pendiri J-Zone, komunitas cosplay Malang.
I.
Komunitas
cosplay sebagai bisnis
Jika cosplayer sudah cukup puas dengan hasil yang dia
miliki tapi ingin lebih berkreativitas dalam dunia ini ,ternyata bisnis juga
merangkul para cosplayer, dengan adanya jasa penyewaan dan penjualan kostum dan
aksesori, menjadikan cosplayer sebagai
model fotografi, adanya kompetisi cosplay di dalam negeri dan internasional.
Ada dua orang yang sudah mengharumkan nama indonesia di internasional, nick mereka adalah Pinky Luxun dan Orochi X dari Endiru/ Endless illusion team.
Sementara dari pihak cosplayer sendiri bergabung di
komunitas cosplay memberi kontribus bagai self image mereka.
Lima bagian utama dari self image ini
(Diko, 2010) :
1.
Self-control
Kerja keras dan Seni peran adalah inti dari aktivitas ini. kontrol diri adalah yang paling utama bagi para cosplayer. Ditengah gunjingan masyarakat, mereka harus mampu mengatur diri mereka agar tetap fokus pada hoby mereka ini.
Kerja keras dan Seni peran adalah inti dari aktivitas ini. kontrol diri adalah yang paling utama bagi para cosplayer. Ditengah gunjingan masyarakat, mereka harus mampu mengatur diri mereka agar tetap fokus pada hoby mereka ini.
2.
Self –advance
Sebagai individu yang berkembang, cosplayer memiliki kemampuan berpikir dan berperilaku yang berbeda dari orang umum. Tidak banyak yang ingin mengembangkan diri dalam dunia hobi mereka. Bagi mereka cosplay adalah hal yang menyenangkan. Untuk mencapai hal itu diperlukan pengembangan skill, baik itu dari kemampuan non-formal, seperti menjahit, melukis, mendesain dan sejenisnya atau pengembangan skill utama, seperti memerankan suatu tokoh sampai menggunakan bahasa asli dari tokoh tersebut.
Sebagai individu yang berkembang, cosplayer memiliki kemampuan berpikir dan berperilaku yang berbeda dari orang umum. Tidak banyak yang ingin mengembangkan diri dalam dunia hobi mereka. Bagi mereka cosplay adalah hal yang menyenangkan. Untuk mencapai hal itu diperlukan pengembangan skill, baik itu dari kemampuan non-formal, seperti menjahit, melukis, mendesain dan sejenisnya atau pengembangan skill utama, seperti memerankan suatu tokoh sampai menggunakan bahasa asli dari tokoh tersebut.
3.
Self-satisfaction
Tidak ada yang lebih memuaskan bagi cosplayer jika karyanya bisa menunjukkan ekspresi dia. Hasil kerja kerasnya ternyata mampu membuat orang lain tersenyum , bahkan mungkin ada yang mengajak foto bersama. Tersiratnya, ekspresi cosplayer mampu memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Cosplayer lebih memiliki kepuasan diri yang besar. Mereka lebih sehat secara psikologis karena mampu menghargai diri sendiri, dan puas atas apa yang telah dilakukan.
Tidak ada yang lebih memuaskan bagi cosplayer jika karyanya bisa menunjukkan ekspresi dia. Hasil kerja kerasnya ternyata mampu membuat orang lain tersenyum , bahkan mungkin ada yang mengajak foto bersama. Tersiratnya, ekspresi cosplayer mampu memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Cosplayer lebih memiliki kepuasan diri yang besar. Mereka lebih sehat secara psikologis karena mampu menghargai diri sendiri, dan puas atas apa yang telah dilakukan.
4.
Self-esteem
Menyikapi segala permasalahan dengan kekeluargaan, bersikap dewasa, berani ambil keputusan, dan tidak takut terhadap siapapun yang berkata tidak baik, adalah kepribadian positif yang dapat ditemui pada cosplayer. Mereka kepribadian yang kuat, seperti berkata “Tidak masalah pandangan orang lain, kita tidak mengganggu orang lain, jika orang lain menganggu kita artinya mereka tidak mampu seperti kita”.
Menyikapi segala permasalahan dengan kekeluargaan, bersikap dewasa, berani ambil keputusan, dan tidak takut terhadap siapapun yang berkata tidak baik, adalah kepribadian positif yang dapat ditemui pada cosplayer. Mereka kepribadian yang kuat, seperti berkata “Tidak masalah pandangan orang lain, kita tidak mengganggu orang lain, jika orang lain menganggu kita artinya mereka tidak mampu seperti kita”.
5.
Unique personality
Banyak keunikan yang dapat ditemukan dalam diri masing-masing cosplayer. Mereka mampu memilah-milah mana sikap yang bisa mereka ambil dari peran mereka atau malah merubah peran yang akan mereka perankan dengan pribadi asli mereka. Memiliki imajinasi untuk berkreativitas juga merupakan kepribadian yang umumnya dimiliki oleh mereka.
Banyak keunikan yang dapat ditemukan dalam diri masing-masing cosplayer. Mereka mampu memilah-milah mana sikap yang bisa mereka ambil dari peran mereka atau malah merubah peran yang akan mereka perankan dengan pribadi asli mereka. Memiliki imajinasi untuk berkreativitas juga merupakan kepribadian yang umumnya dimiliki oleh mereka.
BAB IV
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Muncul dan berkembangnya sebuah komunitas
adalah fenomena sosial yang wajar. Setiap komunitas memiliki kegiatan yang
menunjukkan identitas komunitas mereka sendiri. Demikian juga halnya dengan
komunitas cosplay. Mereka menekuni hobinya dengan memerankan karakter tokoh
idola dan mengenakan kostum tokoh tersebut. Hal ini, menunjukkan identitas
keberadaan komunitas ini.
Dengan pengenalan cosplay
lewat makalah ini, pembaca diharapkan dapat menilai komunitas lain nya di
masyarakat dengan lebih bijak lagi, yaitu dengan mengenal lebih baik lagi
komunitas itu. Penulis menyadari referensi yang dicantumkan dalam makalah ini
belum cukup luas mengulas komunitas cosplay, namun penulis berharap pembaca
bisa memperoleh wawasan mengenai komunitas cosplay, sebagai salah satu yayasan
yang saat ini sedangbooming di
Indonesia.
B.
Saran
Memberi value dan judge akan keberadaan suatu
komunitas adalah gejala sosial yang juga lumrah. Hanya saja men-judge negatif
suatu komunitas tanpa mengenal dengan baik komunitas itu adalah hal yang buruk.
Sekali pun sebuah komunitas di nilai buruk oleh masyarakat, mereka juga
memiliki hal positif.
Jepang sudah membuat budaya baru yang mendunia,penulis
berharap Indonesia berkembang juga,walau bukan dibidang ini,tapi dibidang lain
yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
http://www.lagingetop.com/hobi/2014/02/17/13/cosplay-dan-sejarah-perkembangannya-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar